Kampung NAGA

TASIKMALAYA – Berwisata di kampung ini layaknya orang –maaf— kebelet kencing saja. Datang, lihat, buang, rasakan, dan sesudahnya pergi pulang. Tak ada kesan mendalam yang biasanya berbekas. Semua berlalu, serba cepat. Berbagai daya tarik yang ditampilkan seperti sudah disediakan dan diatur. Kita harus melangkah ke mana, melihat siapa, dan merasakan apa. Apakah ini sebuah pertanda bahwa kampung tersebut hanya sekadar komoditas bagi turis.

Tak ada yang bisa disalahkan memang bila Risman, salah seorang ketua RT di Kampung Naga, mau berepot-repot mengantarkan turis domestik berkeliling kampung. Di antara kesibukan ia sebagai ketua RT yang pada Minggu (28/3) lalu harus turut serta dalam tahap renovasi atap rumah, pria setengah baya ini bersedia menemani kami menyusuri desa di pinggir Sungai Ciwulan tersebut.
Perjalanan wisata yang terasa instan ini dimulai saat kami turun, melewati ratusan undak tangga. Tiba di batas undakan jalan, seluas mata memandang adalah hamparan hijau padi. Di sebelah kanan, aliran Sungai Ciwulan berwarna coklat. Matahari menyengat ditingkahi asap sisa pembakaran sampah. Merupakan kebiasaan penduduk setempat membakar sampah di pinggir sungai, agar sisa arang turut terbawa air.
Risman yang sudah menanti kami mulai terlihat meninggikan tangan, menandakan di mana kami akan memulai mengenal desa ini. Kolam-kolam desa harus dilewati dahulu sebelum tiba di batas pondasi rumah pertama.
Jajaran rumah di sini mengingatkan kami pada daerah sempit Jakarta. Antara satu rumah dengan rumah lainnya terlihat sangat berdekatan, hanya sekitar tiga langkah kaki. Batu-batu sungai besar menghiasi batas depan antarrumah. Atap hitam mengkilat terkena panas hingga menyilaukan mata. Tapi mata langsung terasa nyaman saat melihat dinding-dinding anyaman bambu depan masing-masing rumah.
Salah satu rumah deret pertama yang kami lalui, ternyata sedang direnovasi. Meski hanya renovasi atap, hampir semua lelaki desa terlibat. Renovasi atap memang bukan hal enteng di Kampung Naga. Tiap atap dilapisi dengan dua macam bahan. Paling bawah adalah atap nipah yang dianyam kering. Lapisan berikutnya ijuk hitam, yang menurut informasi Risman, pernah sampai 7 tahun ia mengumpulkan agar bisa menutupi keseluruhan satu petak rumah miliknya.

Menemui Kuncen Desa
Sebelum mengitari desa, ritual pertama yang wajib kami lakukan adalah menemui Henhen, seorang kuncen desa atau tetua adat. Umurnya yang masih muda tergambar jelas pada perawakannya. Ini mengingatkan lagi pada perawakan abah Anom, pemimpin spiritual kampung Ciptagelar di Pelabuhan Ratu. Dan makin menambah bukti mengenai mudanya umur seorang tetua di Jawa Barat.
”Ada urusan apa Anda datang ke desa ini?” tanyanya kalem. ”Apabila hanya untuk pribadi silahkan melanjutkan perjalanan,”tambahnya.
Perihal izin untuk memasuki kampung ini memang bisa menjadi kompleks masalahnya. Apalagi buat turis yang tidak tahu atau sok tahu. Disarankan buat Anda jangan sok penting seperti ilmuwan atau wartawan layaknya. Karena alasan itu justru akan mengantar kita pada jurang kerumitan birokrasi. Bertele-telenya sistem birokrasi di Kampung Naga membuat seorang rekan akhirnya punya kesimpulan. ”Kalau ngeliat sulitnya birokrasi, sepertinya desa ini mau tak mau menjual wisatanya.”
Meski begitu, kami puas menyusuri Kampung Naga. Melewati pusat desa yang berisi masjid dan sebuah balai pertemuan. Melihat orang-orang tetap dengan keasyikan sendiri, menenun, menisik bambu, menganyam dan membuat berbagai perkakas tenunan.
Namun rasa lapar di perut ini rasanya mulai memanggil. Ajakan Risman untuk makan di rumahnya memang terdengar menggiurkan. Sempat juga terlantun nada tak enak hati, tapi segera terhapus saat diketahui seorang rekan belum pernah merasakan makan bersama orang-orang ini.
Maka kaki pun langsung saja melangkah masuk dalam rumah. Bersih memang keadaan dalam rumah di sini. Kamar-kamar yang ada di dalamnya tidak terlalu besar. Mungkin karena kesepakatan mereka untuk tidak menambah luas desa. Sementara jumlah penduduknya terus bertambah, menimbulkan dampak seperti keadaan rumah yang kecil-kecil seperti sekarang yang kami lihat ini. Namun, yang namanya makan tetap saja menarik. Makan siang dengan ikan mas goreng, sayur urap lalapan, dan tempe goreng tak terasa amblas begitu saja.
Menjelang siang, kami memutuskan meninggalkan desa, meninggalkan rasa tak enak di hati. Seperti ada perasaan dijauhkan di sini. Tiba-tiba kami mendapati Kampung Naga tak beda dengan Ancol. Wisata budaya menjadi tak jauh berbeda dari wisata kota. Atau ini hanya ekses dari kebutuhan ekonomi semata yang memang lebih mudah terasa dari sisi wisata.
(str-sulung prasetyo)

Gunung Selamet 3442 mdpl Jawa Tengah

Gunung Selamet 3442 mdpl Jawa Tengah

Kabarnya ini adalah gunung tertinggi kedua di pulau jawa setelah gunung Semeru sehingga saya, julax, kawil dan olenk berniat mendaki kesana. Sebelumnya saya sudah mengadakan perjanjian untuk bertemu di Purwokerto di tempat Mbahnya Olenk pada tanggal 01 Februari 1999, karena Olenk itulah yang akan me”leader” kami mendaki gunung Selamet. Dia juga selain sering mendaki kesana, juga akan meminjamkan tenda dan peralatan lain kepada kami. Maka pada tanggal 26 Januari 1999 dengan menggunakan kereta api terlebih dahulu mampir ke rumah Mbah saya di Purworejo, rencananya dari situ baru pada tanggal 01 februari 1999 kami menuju Purwokerto. Sesuai dengan kesepakatan pada tanggal 01 februari 1999 kami naik bis dari Sokaraja ke arah Purbalingga tepatnya Bobotsari dengan biaya Rp 1500,-/orang dan turun disuatu tempat yang bernama Serayu. Dari situ perjalanan dilanjutkan dengan naik colt bak terbuka dengan ongkos Rp 3500,-/orang turun di desa Bambangan dirumah pak Bahu. Pak Bahu ini merupakan julukan untuk semacam orang yang dihormati disitu, semacam Pak RT atau juru kunci (kuncen), mungkin bisa dikatakan begitu. Rumah Pak Bahu ini juga dijadikan Base Camp untuk pendaki gunung selamet yang melewati Bambangan. Keramah tamahan ditunjukkan oleh tuan rumah dengan air teh hangat dan makanan ringan yang dihidangkan untuk para pendaki. Setelah makan dan membayar Rp 2000,-/orang ( untuk biaya perbaikan jalan ) maka, kami mulai pendakian, tidak begitu banyak pendaki waktu itu. Lain dengan gunung Gede yang selalu ada saja pengunjungnya. Melewati ladang penduduk, berupa ladang jagung, kol, wortel dan sayur-sayuran persis seperti di Semeru, kata saya dalam hati, sampai di Gazebo atau Pos 1 kami berhenti sebentar menikmati pemandangan kota dibawahnya sungguh indaj\h, walau sedikit berkabut. Puas beristirahat, berfoto-foto kami lanjutkan pendakian. Kali ini, sekali lagi saya merasakan beratnya beban dari dari carrier 100 liter, masih yang itu-itu juga yaitu carrier milik teman saya, Tompel busyet dah....! dengan route yang ”nanjak abisss...” dan tanah yang licin musim hujan, jadilah saya mendaki dengan tanpa alas kaki alias ”Nyeker-Men...” ya.... tiada jalan lain daripada sepatu rusak atau sendal putus lebih baik kami mendaki tanpa alas kaki dan itu merupakan pengalaman baru bagi saya, rasanya lebih menyentuh tanah... hehehe.... satu jam lebih kami berjalan mendaki dengan beberapa kali istirahat sampailah kami di Pos 2 yang kalo tidak salah bernama Pondok ”Walang, berbeda dengan gunung-gunung yang saya daki sebelumnya, Pos di gunung selamet ini tidak ada bangunannya, hanya berupa dataran yang tidak luas, ada papan namanya-ya... begitu doank ! keadaan hutan, pepohonan di gunung selamet ini juga cukup rimbun, tapi tidak serimbun Gunung Gede. Sesekali saya melihat monyet bergelantungan di dahan., serem juga sih... waktu menunjukkan ± pk 18.00 ketika kami sampai di Pos Pondok Walang kami tidak berhenti di Pos itu, jalan terus, beberapa pendaki yang melihat kami ”nyeker”, mengingatkan pada kami agar hati-hati sebab tanahnya sangat licin yach... kami hanya ”nyengir kude”, apalagi teman saya yang bernama Julax !. Malam terus merambat, melewati beberapa Pos, hm... saya lupa nama-namanya, yang saya ingat ada Pos Pondok Cemara, tapi ini bukan Pos 3 hanya merupakan Pos persinggahan dan sama juga tidak ada bangunannya... ± pk 19.30 kami tiba di Pos 3 yang bernama Samarantu, sebuah dataran di tengah rimbunnya pohon kami memutuskan nge-Camp disana. Senter yang saya pakai sempat padam, membuat saya berpikir yang tidak-tidak... dasar penakut !. Bulan yang bersinar terang menembus rapatnya dedaunan menimbulkan suasana temaram, seandainya tempatnya lebih terbuka tentu lebih menyenangkan lagi. Ditempat itu hanya kami ber Empat yang bermalam disitu, tak ada orang lain lagi benar-benar sepi... dingin mencekam membuat kami tidur lelap setelah makan dan ngobrol sebentar. Pagi harinya sekitar pk 09.00 kami lanjutkan pendakian, route yang kami lalui masih sama, hutan lebat dan kayu-kayu yang melintang yang membuat kami terpaksa merangkak untuk melewatinya. Pos 4 yang kami harapkan segera ketemu, tak kunjung ditemui yang ada malah kami ”keterusan” sampai Pos 5 yang kata teman saya Olenk bernama Kendit. Rupanya dia lupa dimana tempat Pos 4 sehingga ”kebablasan” tapi it’s ok man... di Kendit atau Pos 5 itu kami nge-Camp lagi satu malam kami tiba disitu sekitar pk 12.00 ”wow... panas sekali...” daerahnya merupakan dataran terbuka, tidak ada pohon yang tinggi disitu, hanya ada semak belukar tapi dari situ puncak gunung Slamet yang medannya gersang berbatu-batu sudah terlihat. Sekitar pk 03.30 kami bangun dan melanjutkan pendakian, kata orang-orang yang pernah mendaki di gunung Selamet ini, sunrisenya merupakan yang terindah dilihat dari Puncak. Makanya kami bergegas naik keatas, tapi baru sampai batas vegetasi dengan pasir yang disebut Pelawangan kami berhenti disitu menunggu sunrise yang tak kunjung tiba karena tertutup awan... Shit..!!! Tapi pemandangan dibawahnya bagus sekali, inilah kali pertama saya melihat pemandangan dari atas gunung dengan bagus, soalnya tidak ada kabut berbeda dengan yang saya alami di Semeru dan Gede. Setelah berfoto-foto kami lanjutkan pendakian melewati medan berbatu-batu besar dan pasir kasar, tidak seperti di Semeru yang berpasir halus. Perlahan tapi pasti kami mendaki seiring dengan turunnya kabut dan angin kencang, yang membuat leader kami hampir mengurungkan niatnya pergi ke Puncak, tapi saya pernah mengalami yang lebih buruk dari ini yaitu di Semeru dan saya sampai Puncak, mengapa disini tidak bisa ? begitu pikir saya. Maka kami teruskan pendakian dengan cuaca buruk tersebut dan sampai juga di Puncak ”at last...!” puncaknya terdiri dari batu-batu cadas dan tidak beraturan bentuknya. Cuaca masih sama, bahkan lebih dingin dan angin lebih kencang, kabut semakin tebal. Disana ada semacam tiang-tiang pemancar yang sebagian rubuh dan ada tugu yang didirikan untuk mengenang tewasnya 14 orang pendaki yang hilang ditiup angin. Puas berfoto-foto dan makan kue lebaran, kami tak bisa berlama-lama disitu, turun dan sekitar pk 17.00 kami tiba di Base Camp dan langsung pulang.

Ucapan Terima kasih buat Allah dan ciptaannya :
  • Olenk and his Brother Jejen for the Equipment
  • Atas ketabahan mental dan fisik kita semua...
  • No Thanx buat kotoran yang gua injek di stasiun Purwokerto juga becak yang bikin gua njomplang dua kali...
    See You...

Objek Wisata Karawang

Kabupaten Karawang memiliki banyak objek yang dapat dijadikan sebagai tujuan wisata keluarga, meskipun keberadaan objek wisata tersebut relatif masih belum dikelola secara optimal, bahkan sebagian lagi mulai terancam pengrusakan dan nyaris akan hilang, keberadaan objek wisata alam misalnya yang terdapat di dua wilayah berbeda misalnya wisata bahari di sepajang jalur utara Kabupaten Karawang dan Wisata Gunung Hutan di sepanjang jalur Selatan, berikut sekilas gambaran objek wisata di Karawang

Wisata Bahari Tanjung Pakis Karawang

Objek wisata ini terletak di ujung sebelah utara Karawang yang berbatasan dengan wilayah Kabupaten Bekasi, lokasinya terletak di Desa Tanjung Pakis, jarak dari kota ke lokasi ini cukup jauh jika dengan menggunakan sepeda motor dibutuhkan waktu sekira 1 jam untuk mencapai lokasi wisata ini, Tempat ini demikian nyaman, dan telah dikelola secara profesional oleh perusahaan pariwisata PT. JHI sejak tahun 2000 an yang lalu, rata-rata pengunjung yang datang ke lokasi ini tidak kurang dari 1000 orang setiap bulannya dan ini merupakan salah satu objek wisata unggulan Kabupaten Karawang

Objek Wisata Bahari Pantai Pisangan

sama seperti objek wisata tanjungpakis, wisata bahari di Pisangan juga memiliki daya tarik pantai yang sama bagusnya, Lokasinya terletak di sebelah utara Karawang di Kecamatan Pedes, lokasi ini tampaknya masih belum dikelola secara optimal mengingat tepi pantai yang relatif lebih sempit jika dibandingkan dengan pantai Tanjungpakis.

Wisata Bahari Tanjung Baru

Lokasi objek wisata ini berada di Kecamatan Cilamaya, jalur menuju ke pantai ini lebih dekat dari arah Cikampek. Kondisi pantai ini lumayan baik karena pada masa jabatan Bupati Ahmad Dadang lokasi ini di bangun dan dicanangkan sebagai objek wisata unggulan Kabupaten Karawang.

Objek Wisata Pegunungan

Karawang juga memiliki objek wisata alam pegunungan yang cukup luas, daya tarik wisata pegunungan ini adalah terdapatnya beberapa air terjun alam yang disebut dengan Curug, yaitu Curug Cigentis, Curug Santri, Curug Bandung, Curug Lalay dan banyak lagi pada sekitar tahun 1990-an objek wisata ini banyak dikunjungi wisatawan dari dalam dan luar daerah, namun sekarang ini objek wisata tersebut relatif kurang pengunjungnya dan pemerintah Kecamatan Tegalwaru telah mencanangkan program wisata unggulan di wilayah ini untuk menarik kembali para wisatawan yang ingin berkunjung ke wilayah ini. selain itu di wilayah ini pun banyak terdapat Vila yang disewakan untuk para pengunjung, umumnya pengunjung yang berdatangan ke lokasi ini setiap hari minggu sekedar menikmati pemandangan alam dan tidak jarang yang kemudian berkemah di lokasi perkemahan pramuka dan tempat sarana latihan Militer yang terdapat di sana.

Pantai Tanjung Pakis

Pantai Tanjung Pakis terletak di Desa Tanjung Pakis Kecamatan Pakis Jaya Kabupaten Karawang (kira-kira 70 km dari ibukota kabupaten Karawang). Bentang pantai sekitar 5 km. Bagaimana kondisi pantai ini ??? Hmm.., patut disayangkan, potensi obyek wisata yang bagus ini tidak (atau mungkin belum) dikelola dengan baik pemerintah daerah Kabupaten Karawang. Kondisi pantai pakis cukup memprihatinkan, kotoran/sampah yang tidak dikelola dengan baik, sarana dan prasarana transportasi menuju lokasi wisata yang tidak memadai, serta fasilitas di sekitar pantai yang boleh dikatakan sangat tidak memadai. Padahal, saya pikir jika dikelola dengan baik, pantai ini sangat berpotensi memberi sumbangsih besar pada pendapatan daerah Kabupaten Karawang. Kendatipun demikian jika dikomparasi dengan pantai Ancol dari segi keindahan, sampah, dan kebersihan airnya, saya akan berikan nilai 7 untuk pantai pakis dan 5 untuk pantai ancol.

Kami (14 orang, dengan 9 sepeda motor) berkumpul bersama-sama di Yos Sudarso 1 Sunter sekitar jam 7.30, kemudian transit dulu di Komplek Harapan Indah Bekasi, dan berangkat dari sana jam 09.00. Kami sengaja pergi dengan mengendarai motor, karena memang inilah salah satu sarana menggapai ‘tujuan’ kami. Perjalanan dari Bekasi ke lokasi pantai ditempuh melalui jalan pintas, diantaranya dengan melewati dua sungai yang masing-masing memiliki lebar sekitar 40 dan 50 m (tidak ada jembatan, hanya dapat dilewati dengan naik perahu kerek). Dari penunjukan odometer diketahui bahwa jarak tempuh Bekasi ke lokasi pantai adalah sekitar 47 km (jarak tempuh pulang-pergi sekitar 94 km, dan kami menempuhnya selama 2 jam (bila dikurangi waktu menyeberangi perahu, sekitar 30 mnt, kecepatan rata2 berkendara kira2 31,3 km/jam).

Meskipun capek di perjalanan, satu hal yang sangat berkesan selama mengikuti acara-acara seperti ini adalah rasa kebersamaan. Yah…, sebuah kebersamaan, nikmat yang luar biasa. “Terkadang kita perlu tuk ‘berhenti sejenak’, sekedar melepaskan beban yang ada, bersama keluarga dan teman-teman kita.”

DANAU TOLIRE

DANAU TOLIRE
Wisata Unik Sarat Legenda


Jika Anda berkunjung ke Ternate, Maluku Utara, tidaklah lengkap bila tidak menyempatkan diri mampir ke obyek wisata Danau Tolire. Danau yang terletak sekitar 10 km dari pusat kota Ternate ini, selain bentuknya unik juga memiliki cerita legenda yang menarik.

"Danau Tolire Besar dan Tolire Kecil merupakan salah satu obyek wisata andalan Pemkot Ternate untuk menarik wisatawan. Dalam setahun tidak kurang dari 1.000 wisatawan, baik dari dalam maupun luar negeri berkunjung ke danau itu," kata Walikota Ternate Drs Syamsir Andili kepada La Ode Aminuddin dari Antara.

Danau Tolire berada di bawah kaki Gunung Gamalama, gunung api tertingi di Maluku Utara. Danau itu sendiri terdiri dari dua buah. Masyarakat setempat menyebutnya Danau Tolire Besar dan Danau Tolire Kecil. Jarak antara keduanya hanya sekitar 200 meter.

Dari kedua danau ini, Danau Tolire Besar memiliki keunikan tersendiri. Danau ini menyerupai loyang raksasa. Dari pinggir atas hingga ke permukaan air danau dengan kedalaman sekitar 50 meter dan luas sekitar 5 hektar. Sementara kedalaman danau itu sendiri hingga kini tidak diketahui. "Sampai saat ini belum ada yang mengukur kedalaman danau ini. Tetapi menurut cerita leluhur, kedalamannya berkilo-kilo meter dan berhubungan langsung dengan laut," kata Sudirman, warga Ternate yang sejak sepuluh tahun terakhir berjualan air mineral di pinggir danau tersebut.

Danau Tolire Besar ber-air tawar dengan berbagai macam ikan hidup di situ. Namun, warga masyarakat setempat tidak ada yang berani menangkap ikan atau mandi di danau itu. Mereka meyakini bahwa danau yang airnya berwarna coklat kekuning-kuningan itu, dihuni oleh banyak buaya siluman.

Buaya-buaya siluman itu, konon, sering terlihat berenang di tengah-tengah danau. Warnanya putih dan panjangnya sekitar 10 meter. Tak semua orang bisa melihat buaya siluman itu, dan hanya mereka yang beruntung. Menurut masyarakat setempat, dalam kondisi hati bersih, seseorang berpeluang melihat buaya siluman di danau itu.

Masih menurut Sudirman, dulu ada seorang wisatawan asing yang tidak percaya bahwa di danau itu ada buaya silumannya. Wisatawan itu turun mandi ke danau tersebut dan setelah berenang beberapa menit, ia menghilang. Ia diduga dimangsa oleh buaya siluman itu.

Keunikan lain dari danau ini adalah kalau melempar sesuatu ke danau, bagaimana pun kuatnya lemparan dengan menggunakan batu atau benda lain, misalnya, tidak akan pernah menyentuh air danau. Padahal saat melempar dari pinggir atas danau, air danau terlihat berada di bawah kaki si pelempar. Barangkali mereka yang pertama kali berkunjung ke danau itu, tidak akan percaya dengan fakta itu. Namun, mereka noleh mencoba melemparnya setelah membeli batu yang banyak dijual di pinggir danau seharga Rp 1.000 untuk lima biji batu. Sejauh ini tidak seorang pun mampu melemparkan batu-batu itu hingga menyentuh permukaan air danau.

"Menurut cerita leluhur, batu yang dilempar ke danau tidak akan pernah menyentuh permukaan air danau, karena tertahan oleh kekuatan gaib dari dasar danau. Kekuatan gaib itu diyakini datang dari buaya siluman yang ada di danau itu," kata Abdulah, seorang tokoh masyarakat di sekitar danau tersebut.

Harta Karun

Menurut warga masyarakat setempat, banyak harta karun tersimpan di dasar Danau Tolire Besar. Harta karun ini milik masyarakat Kesultanan Ternate saat Portugis menjajah Ternate abad ke-15. Masyarakat Ternate saat itu banyak membuang hartanya yang berharga ke dalam danau agar tak dirampas tentara Portugis.

Sejauh ini belum ada instansi atau pihak tertentu yang melakukan penyelidikan secara khusus atas kebenaran pengakuan masyarakat itu. Namun beberapa waktu lalu, seorang anggota Brimob dengan menggunakan sonar mendeteksi benda-benda yang ada di dasar danau. Hasilnya, terindikasi ada benda-benada logam 'bersemayam' di dasar danau itu. "Dari sonar itu tertangkap adanya benda-benda logam di dasar danau. Kalau dikaitkan dengan pengakuan masyarakat setempat, benda-benda logam itu mungkin harta masyarakat Ternate dulu, yang dibuang ke danau saat Portugis menjajah Ternate," kata Djafar, seorang pemerhati sejarah di Ternate.

Danau Tolire Besar dan Tolire Kecil, menurut cerita masyarakat setempat, dulunya adalah sebuah kampung yang masyarakatnya hidup sejahtera. Kampung ini kemudian dikutuk menjadi danau oleh penguasa alam semesta, karena salah seorang ayah di kampung itu menghamili anak gadisnya sendiri.

Saat ayah dan anak gadisnya yang dihamilinya itu akan melarikan diri ke luar kampung, tiba-tiba tanah tempat mereka berdiri anjlok dan berubah menjadi danau. Danau Tolire Besar dipercaya sebagai tempat si ayah. Sedangkan Danau Tolire Kecil diyakini sebagai tempat si gadis.

"Cerita ini boleh dianggap hanya sebagai legenda, karena sulit diterima di zaman modern sekarang. Tetapi warga di Ternate ini, terutama para orang tua, sangat mempercayainya. Cerita ini akan terus lestari di hati masyarakat Ternate sampai akhir zaman," kata Jafar.

Untuk mengunjungi Danau Tolire Besar dan Tolire Kecil, tidaklah sulit. Untuk mencapai tempat itu hanya dibutuhkan waktu sekitar 10 menit dari pusat kota Ternate, dengan menggunakan mobil carteran Rp 250.000 per hari, atau menyewa ojek sepeda motor dengan tarif Rp 10.000 per jam.

Saat mengunjungi Danau Tolire Besar, banyak obyek wisata lainnya yang bisa dinikmati, seperti keindahan panorama puncak Gunung Gamalama, sejumlah benteng peninggalan Portugis dan makan Sultan Babullah, Sultan Ternate yang paling terkenal - yang terdapat di jalan menuju danau tersebut.

Selain itu, `kita` dapat pula menikmati keindahan pasir putih Pantai Sulamadaha, yang terletak hanya sekitar tiga kilomerer dari Danau Tolire Besar. Dari sini, pengunjung juga bisa menyewa perahu untuk memancing ikan atau pergi menyelam menyaksikan keindahan panaroma bawah laut di sekitar pantai itu.

Direktori Dropship Indonesia

Direktori Dropship Indonesia
Cari Bisnis dan Supplier untuk Binis Dropship di www.dropshiper.id