Berita Musik : Mengenalkan Kuping Dengan Musik Etnik

Banyak orang dengan jiwa kosong mencoba mencari penyembuhan melalui instant wisdom, misalnya melalui buku, yang sekali baca moga-moga langsung arif bijaksana. Banyak orang yang penat dengan carut marut suasana kota mencoba pergi ke gunung, ke laut, atau menyepi di sebuah pulau dengan harapan mendapat ketentraman sebuah suasana.

Kurang lebih perasaan seperti itulah yang saya dapat saat menyaksikan pertunjukan musik etnik Internasional (SIEM) di Benteng Vanstenberg Solo beberapa hari yang lalu. Kuping kita lama-kelamaan bisa jenuh juga jika terus-terusan dipakai untuk mendengarkan aliran-aliran musik mainstream yang menganut sistem jualan hingga ratusan ribu copy.

Mendatangi sebuah festival musik etnik juga berarti bersiap menemui bebunyian asing, aneh, dan baru dari alat musik yang tidak pernah kita tahu sebelumnya. Jangan heran kalo “pembuat bunyi” handal seperti I Wayan Sadra bisa mencipta suara yang memekakkan telinga dan menyanyat hati dari gergaji kayu panjang yang digesek-gesek. Atau suara vokal aneh yang keluar dari synthesizer-nya Dwiki Darmawan dipadu dengan beragam alat musik dari seluruh nusantara.

Saya hanyalah salah satu orang yang datang ke festival musik etnik itu sebagai orang awam yang tidak tahu dan tidak pernah mendengarkan musik etnik dari luar negeri maupun dari dalam negeri sendiri. Tapi justru disitulah bagusnya, festival semacam ini bisa menjadi ajang pembelajaran bagi masyarakat awam terhadap musik-musik etnik dan mengenal berbagai bebunyian baru. Tak hanya itu, kolaborasi budaya dalam bentuk musik pun bisa terjadi, Gilang Ramadhan yang banyak mengeksplorasi ritme musik Sunda bisa berkolaborasi dengan Kim Sanders asal Australia yang memainkan bag pipe, alat musik tradisional Bulgaria. Dan penari-penari asal Yunani tetap bisa membawakan tariannya meskipun diiringi oleh musik etnik asal Bengkulu.

Jika di Jakarta banyak anak muda berbondong-bondong mendatangi Java Jazz supaya dianggap keren, gaul, dan berselera musik tinggi karena mendengarkan jazz, maka saya sendiri tidak menampik anggapan bahwa mendatangi festival musik etnik supaya dianggap lebih berbudaya. Lagipula menjadi berbudaya itu lebih baik daripada tak berbudaya tho? Bedanya, Java Jazz hanya dimonopoli oleh orang-orang berduit yang mampu beli tiket seharga setengah juta rupiah dan menjadi ajang snobbish bagi golongan tertentu, sehingga musisi jalanan kelas koin cepek-an yang sebenarnya memahami musik jazz terpaksa tak memiliki kesempatan untuk ikut mengapresiasi.

Sedangkan SIEM memang dibuat untuk masyarakat dari berbagai lapisan, mulai dari pelajar, mahasiswa, pengangguran, seniman, budayawan, walikota, bahkan tukang becak mempunyai kesempatan yang sama untuk mengenal musik etnik dari Indonesia maupun luar negeri. Event besar dan bagus yang memasukkan kata “International” ini bisa ditonton oleh semua orang secara gratis, tak berbayar, dan gratisan bukan berarti rombengan. Dengan kata lain, anda bisa dianggap lebih berbudaya tanpa membayar apa-apa. Ya, di Solo yang mengaku sebagai Kota Budaya, acara semacam festival musik etnik atau pertunjukan budaya lainnya patut diadakan secara rutin.

No comments:

Post a Comment

Terima kasih atas kunjungannya, isi komen ya


U COMMENT I FOLLOW

Direktori Dropship Indonesia

Direktori Dropship Indonesia
Cari Bisnis dan Supplier untuk Binis Dropship di www.dropshiper.id